Senin, 04 April 2011

Sultan Nuku

Muhammad Amiruddin atau lebih dikenal dengan nama Sultan Nuku (Soasiu, Tidore, 1738 - Tidore, 14 November 1805) adalah seorang Pahlawan Perjuangan Kemerdekaan Indonesia. Dia merupakan sultan dari Kesultanan Tidore yang dinobatkan pada tanggal 13 April 1779, dengan gelar “Sri Paduka Maha Tuan Sultan Saidul Jehad el Ma’bus Amiruddin Syah Kaicil Paparangan”

Muhamad Amiruddin alias Nuku adalah putra Sultan Jamaluddin (1757–1779) dari Kerajaan Tidore. Nuku juga dijuluki sebagai Jou Barakati artinya Panglima Perang. Pada zaman pemerintahan Nuku (1797 – 1805), Kesultanan Tidore mempunyai wilayah kerajaan yang luas yang meliputi Pulau Tidore, Halmahera Tengah, pantai Barat dan bagian Utara Irian Barat serta Seram Timur. Sejarah mencatat bahwa hampir 25 tahun, Nuku bergumul dengan peperangan untuk mempertahankan tanah airnya dan membela kebenaran.
Dari satu daerah, Nuku berpindah ke daerah lain, dari perairan yang satu menerobos ke perairan yang lain, berdiplomasi dengan Belanda maupun dengan Inggris, mengatur strategi dan taktik serta terjun ke medan perang. Semuanya dilakukan hanya dengan tekad dan tujuan yaitu membebaskan rakyat dari cengkeraman penjajah dan hidup damai dalam alam yang bebas merdeka. Cita-citanya membebaskan seluruh Kepulauan Maluku terutama Maluku Utara (Maloko Kie Raha) dari penjajah bangsa asing.

Pemerintah Kolonial Belanda yang berpusat di Batavia (kini Jakarta) dengan gubernur-gubernurnya yang ada di Ambon, Banda dan Ternate selalu berhadapan dengan raja pemberontak ini yang terus mengganjal kekuasaan Kompeni (Belanda) tanpa kompromi. Mereka semua tidak mampu menghadapi konfrontasi Nuku. Nuku merupakan musuh bebuyutan yang tidak bisa ditaklukan, bahkan tidak pernah mundur selangkahpun saat bertempur melawan Belanda di darat maupun di laut.
Ia adalah seorang pejuang yang tidak dapat diajak kompromi. Semangat dan perjuangannya tidak pernah padam, walaupun kondisi fisiknya mulai dimakan usia. Kodrat rohaninya tetap kuat dan semangat tetap berkobar sampai ia meninggal dalam usia 67 tahun pada tahun 1805. 

Minggu, 03 April 2011

Pangeran Antasari

Pangeran Antasari (lahir di Kayu Tangi, Kesultanan Banjar, 1809 ) adalah seorang Pahlawan Kemerdekaan Indonesia.
Pada 14 Maret 1862, beliau dinobatkan sebagai pimpinan pemerintahan tertinggi di Kesultanan Banjar (Sultan Banjar) dengan menyandang gelar Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin dihadapan para kepala suku Dayak dan adipati (gubernur) penguasa wilayah Dusun Atas, Kapuas dan Kahayan yaitu Tumenggung Surapati/Tumenggung Yang Pati Jaya Raja. Dalam perlawanannya dengan Belanda, Pangeran Antasari terkenal dengan perang heroiknya yang kita kenal dengan nama perang banjar.

Perang Banjar pecah saat Pangeran Antasari dengan 300 prajuritnya menyerang tambang batu bara milik Belanda di Pengaron tanggal 25 April 1859. Selanjutnya peperangan demi peperangan dipkomandoi Pangeran antasari di seluruh wilayah Kerajaan Banjar. Dengan dibantu para panglima dan pengikutnya yang setia, Pangeran Antasari menyerang pos-pos Belanda di Martapura, Hulu Sungai, Riam Kanan, Tanah Laut, Tabalong, sepanjang sungai Barito sampai ke Puruk Cahu.
Pertempuran yang berkecamuk makin sengit antara pasukan Khalifatul Mukminin dengan pasukan Belanda, berlangsung terus di berbagai medan. Pasukan Belanda yang ditopang oleh bala bantuan dari Batavia dan persenjataan modern, akhirnya berhasil mendesak terus pasukan Khalifah. Dan akhirnya Khalifah memindahkan pusat benteng pertahanannya di Muara Teweh.
Berkali-kali Belanda membujuk Pangeran Antasari untuk menyerah, namun beliau tetap pada pendirinnya. Ini tergambar pada suratnya yang ditujukan untuk Letnan Kolonel Gustave Verspijk di Banjarmasin tertanggal 20 Juli 1861.
...dengan tegas kami terangkan kepada tuan: Kami tidak setuju terhadap usul minta ampun dan kami berjuang terus menuntut hak pusaka (kemerdekaan)...
Dalam peperangan, belanda pernah menawarkan hadiah kepada siapa pun yang mampu menangkap dan membunuh Pangeran Antasari dengan imbalan 10.000 gulden. Namun sampai perang selesai tidak seorangpun mau menerima tawaran ini.


Setelah berjuang di tengah-tengah rakyat, Pangeran Antasari kemudian wafat di tengah-tengah pasukannya tanpa pernah menyerah, tertangkap, apalagi tertipu oleh bujuk rayu Belanda pada tanggal 11 Oktober 1862 di Tanah Kampung Bayan Begok, Sampirang, dalam usia lebih kurang 75 tahun. Menjelang wafatnya, beliau terkena sakit paru-paru dan cacar yang dideritanya setelah terjadinya pertempuran di bawah kaki Bukit Bagantung, Tundakan.

Sultan Hasanuddin


Sultan Hasanuddin (lahir di Makassar, Sulawesi Selatan, 12 Januari 1631) adalah Raja Gowa ke-16 dan pahlawan nasional Indonesia yang terlahir dengan nama I Mallombasi Muhammad Bakir Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangepe. Setelah memeluk agama Islam, ia mendapat tambahan gelar Sultan Hasanuddin Tumenanga Ri Balla Pangkana, hanya saja lebih dikenal dengan Sultan Hasanuddin saja. Karena keberaniannya, ia dijuluki De Haantjes van Het Oosten oleh Belanda yang artinya Ayam Jantan/Jago dari Benua Timur. 


Sultan Hasanuddin lahir di Makassar, merupakan putera kedua dari Sultan Malikussaid, Raja Gowa ke-15. Sultan Hasanuddin memerintah Kerajaan Gowa, ketika Belanda yang diwakili Kompeni sedang berusaha menguasai perdagangan rempah-rempah. Gowa merupakan kerajaan besar di wilayah timur Indonesia yang menguasai jalur perdagangan.
Pada tahun 1666, di bawah pimpinan Laksamana Cornelis Speelman, Kompeni berusaha menundukkan kerajaan-kerajaan kecil, tetapi belum berhasil menundukkan Gowa. Di lain pihak, setelah Sultan Hasanuddin naik takhta, ia berusaha menggabungkan kekuatan kerajaan-kerajaan kecil di Indonesia bagian timur untuk melawan Kompeni.
Pertempuran terus berlangsung, Kompeni menambah kekuatan pasukannya hingga pada akhirnya Gowa terdesak dan semakin lemah sehingga pada tanggal 18 November 1667 bersedia mengadakan Perdamaian Bungaya di Bungaya. Gowa merasa dirugikan, karena itu Sultan Hasanuddin mengadakan perlawanan lagi. Akhirnya pihak Kompeni minta bantuan tentara ke Batavia. Pertempuran kembali pecah di berbagai tempat. Hasanuddin memberikan perlawanan sengit. Bantuan tentara dari luar menambah kekuatan pasukan Kompeni, hingga akhirnya Kompeni berhasil menerobos benteng terkuat Gowa yaitu Benteng Sombaopu pada tanggal 12 Juni 1669. Sultan Hasanuddin kemudian mengundurkan diri dari takhta kerajaan dan wafat di Makassar pada tanggal 12 Juni 1670. Ia dimakamkan di Katangka, Makassar.  

Tuanku Imam Bonjol

Tuanku Imam Bonjol (lahir di Bonjol, Pasaman, Sumatera Barat, Indonesia 1772). Nama asli dari Tuanku Imam Bonjol adalah Muhammad Shahab, yang lahir di Bonjol pada tahun 1772. Dalam perjuangannya, Tuanku Imam Bonjol melakukan perlawanan besar - besaran yang kita kenal dengan nama Perang Padri.


Tak dapat dimungkiri, Perang Padri meninggalkan kenangan heroik sekaligus traumatis dalam memori bangsa. Selama sekitar 18 tahun pertama perang itu (1803-1821) praktis yang berperang adalah sesama orang Minang dan Mandailing atau Batak umumnya.
Pada awalnya timbulnya peperangan ini didasari keinginan dikalangan pemimpin ulama di Kerajaan Pagaruyung untuk menerapkan dan menjalankan syariat Islam sesuai dengan Ahlus Sunnah wal Jamaah (Sunni) yang berpegang teguh pada Al-Qur'an dan sunnah-sunnah Rasullullah shalallahu 'alaihi wasallam. Kemudian pemimpin ulama yang tergabung dalam Harimau nan Salapan meminta Tuanku Lintau untuk mengajak Yang Dipertuan Pagaruyung beserta Kaum adat untuk meninggalkan beberapa kebiasaan yang tidak sesuai dengan Islam (Bid'ah). Tetapi itu semua ditolak. Belanda malah bergabung dengan kaum adat. Setelah kaum adat menang, Belanda memusuhi kaum adat yang akhirnya bergabung dengan para ulama. Belanda mengepung benteng bonjol, tetapi tetap terus gagal untuk menangkap Imam Bonjol.


Setelah datang bantuan dari Batavia, maka Belanda mulai melanjutkan kembali pengepungan, dan pada masa-masa selanjutnya, kedudukan Tuanku Imam Bonjol bertambah sulit, namun ia masih tak sudi untuk menyerah kepada Belanda. Sehingga sampai untuk ketiga kali Belanda mengganti komandan perangnya untuk merebut Bonjol, yaitu sebuah negeri kecil dengan benteng dari tanah liat yang di sekitarnya dikelilingi oleh parit-parit. Barulah pada tanggal 16 Agustus 1837, Benteng Bonjol dapat dikuasai setelah sekian lama dikepung.



Dalam bulan Oktober 1837, Tuanku Imam Bonjol diundang ke Palupuh untuk berunding. Tiba di tempat itu langsung ditangkap dan dibuang ke Cianjur, Jawa Barat. Kemudian dipindahkan ke Ambon dan akhirnya ke Lotak, Minahasa, dekat Manado. Di tempat terakhir itu ia meninggal dunia pada tanggal 8 November 1864. Tuanku Imam Bonjol dimakamkan di tempat pengasingannya tersebut.

Sabtu, 02 April 2011

Pangeran Diponegoro


Pangeran Diponegoro adalah putra sulung Hamengkubuwana III, seorang raja Mataram di Yogyakarta. Lahir pada tanggal 11 November 1785 di Yogyakarta dari seorang garwa ampeyan (selir) bernama R A Mangkarwati, yaitu seorang garwa ampeyan (istri non permaisuri) yang berasal dari Pacitan. Pangeran Diponegoro bernama kecil Raden Mas Ontowiryo.
Menyadari kedudukannya sebagai putra seorang selir, Diponegoro menolak keinginan ayahnya, Sultan Hamengkubuwana III, untuk mengangkatnya menjadi raja. Ia menolak mengingat ibunya bukanlah permaisuri. Diponegoro mempunyai 3 orang istri, yaitu: Bendara Raden Ayu Antawirya, Raden Ayu Ratnaningsih, & Raden Ayu Ratnaningrum.
Diponegoro lebih tertarik pada kehidupan keagamaan dan merakyat sehingga ia lebih suka tinggal di Tegalrejo tempat tinggal eyang buyut putrinya, permaisuri dari HB I Ratu Ageng Tegalrejo daripada di keraton. Pemberontakannya terhadap keraton dimulai sejak kepemimpinan Hamengkubuwana V (1822) dimana Diponegoro menjadi salah satu anggota perwalian yang mendampingi Hamengkubuwana V yang baru berusia 3 tahun, sedangkan pemerintahan sehari-hari dipegang oleh Patih Danurejo bersama Residen Belanda. Cara perwalian seperti itu tidak disetujui Diponegoro. Tata cara Pemerintahan Hindia Belanda membuat Pangeran Diponegoro melakukan perlawanan yang terkenal dengan nama Perang Diponegoro. 

Sikap Diponegoro yang menentang Belanda secara terbuka, mendapat simpati dan dukungan rakyat. Atas saran Pangeran Mangkubumi, pamannya, Diponegoro menyingkir dari Tegalrejo, dan membuat markas di sebuah goa yang bernama Goa Selarong. Saat itu, Diponegoro menyatakan bahwa perlawanannya adalah perang sabil, perlawanan menghadapi kaum kafir. Semangat "perang sabil" yang dikobarkan Diponegoro membawa pengaruh luas hingga ke wilayah Pacitan dan Kedu. Salah seorang tokoh agama di Surakarta, Kyai Maja, ikut bergabung dengan pasukan Diponegoro di Goa Selarong.
Selama perang ini kerugian pihak Belanda tidak kurang dari 15.000 tentara dan 20 juta gulden.
Berbagai cara terus diupayakan Belanda untuk menangkap Diponegoro. Bahkan sayembara pun dipergunakan. Hadiah 50.000 Gulden diberikan kepada siapa saja yang bisa menangkap Diponegoro. Sampai akhirnya Diponegoro ditangkap pada 1830. Beliau meninggal di Makassar, Sulawesi Selatan, 8 Januari 1855 pada umur 69 tahun) adalah salah seorang Pahlawan Perjuangan Kemerdekaan Indonesia. Makamnya berada di Makassar.